Rabu, 28 November 2012

TENAGA KERJA(BURUH MIGRAN)


  1. Definisi Konsep
Definisi konsep tenaga kerja adalah setiap orang yang dapat melakukan suatu pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Konsep Tenaga kerja dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut lebih menitikberatkan kepada tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri, sementara Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang merupakan warga Negara Indonesia, dapat melakukan pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri maupun masyarakat, yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan dengan remunerasi (mendapatkan imbalan gaji, upah, dsb) di suatu negara, dimana dia bukan merupakan warga negara tersebut dan telah memenuhi syarat untuk dapat bekerja di luar negeri dalam suatu hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak antara pekerja Indonesia  dan pengguna.
Dalam konteks sosial dan konsep perburuhan internasional, pekerja Indonesia terkait erat dengan keluarganya dimana pengertian keluarga di sini mengacu pada orang-orang yang kawin dengan pekerja Indonesia atau yang mempunyai hubungan hukum dengan pekerja Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku, dan juga anak-anak mereka yang di bawah umur dan orang-orang lain yang menjadi tanggungan mereka yang dianggap sebagai anggota keluarga menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.  Termasuk disini adalah orang tua, anak, suami, istri atau pihak lain yang dapat dibuktikan dengan dokumen yang sah. Jadi, keluarga pekerja Indonesia meliputi setiap orang atau individu yang memiliki ikatan kekerabatan karena darah/kelahiran, pengangkatan/pengakuan, maupun karena keputusan pengadilan menjadi bagian dari keluarga pekerja Indonesia.
Ketika seorang pekerja Indonesia  mendapatkan pekerjaan di luar negeri atas usaha sendiri tanpa menggunakan pihak lain seperti jasa pelaksana penempatan pekerja Indonesia  dimana telah memenuhi syarat administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pekerja Indonesia  ini disebut pekerja Indonesia mandiri. Adapun pekerja Indonesia  yang mengalami pelanggaran hak asasi, baik hak asasi sebagai pekerja, sebagai manusia maupun sebagai warga negara yang membutuhkan bantuan dalam hal informasi, medis, perawatan rumah sakit, pemulihan fisik dan mental, atau bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar negeri, dikategorikan sebagai pekerja Indonesia  yang bermasalah. Pekerja Indonesia  yang bermasalah dengan hukum bisa mendapatkan bantuan hukum berupa segala upaya pendampingan, konsultasi dan pembelaan hukum kepada pekerja Indonesia dan/atau keluarganya yang sedang menghadapi masalah pada masa prapenempatan, penempatan, dan pascapenempatan di luar negeri.
Definisi konsep lainnya adalah pekerja Indonesia  di bawah umur, dimana mereka berumur kurang dari 18 tahun atau kurang dari umur minimum yang dipersyaratkan untuk bekerja di luar negeri. Pekerja Indonesia  di bawah umur ini juga dikategorikan sebagai salah satu kelompok rentan; yaitu pekerja Indonesia  yang membutuhkan perlindungan khusus dari negara, terlebih bila mengingat kualitas perlindungan pemerintah negara tujuan yang semakin rendah, karena karakter atau sifat pekerjaannya, kualifikasi persyaratan yang dimiliki, dan/atau keberadaannya di daerah perbatasan, yang membuat mereka rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Yang tergolong  kelompok rentan di sini diantaranya adalah pekerja Indonesia  yang bekerja di sektor domestik dan entertainment, pekerja Indonesia  yang tidak berdokumen, pekerja Indonesia  dibawah umur, dan pekerja Indonesia  yang berada di daerah perbatasan.
Untuk seseorang yang berada atau sedang dalam proses pelatihan kerja secara utuh dan terpadu di luar negeri oleh lembaga pelatihan kerja atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga pendidikan di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur dan/atau pekerja yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu, dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja magang (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemagangan di Luar Negeri).
Proses perekrutan calon pekerja Indonesia di luar negeri  guna memenuhi kebutuhan permintaan pengguna di negara penerima melalui agen yang ditunjuk resmi merupakan proses rekrutmen. Sementara, segala tindakan untuk mempengaruhi atau membujuk seseorang/sekelompok orang dengan cara manipulatif dan tekanan dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji yang besar yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan atau tanpa sepengetahuan pihak berwenang, disebut dengan rekrutmen ilegal. Beberapa tindakan yang merupakan rekrutmen ilegal, meliputi:
1)      Menerima biaya rekrutmen yang lebih besar dari yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau membuat pencari kerja membayar biaya melebihi jumlah yang telah ditetapkan.
2)      Memberikan informasi pekerjaan yang tidak benar atau menerbitkan dokumen palsu terkait rekruitmen pekerja Indonesia.
3)      Melakukan segala tindakan untuk memperoleh dokumen palsu.
4)      Membujuk seseorang pekerja yang sudah bekerja untuk berhenti bekerja dengan tujuan menawarkan pekerjaan lain.  
5)      Perekrutan pekerja Indonesia  untuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan umum, moralitas, dan/atau martabat bangsa Indonesia.
6)      Menghalangi pemeriksaan dokumen calon pekerja Indonesia  yang dilakukan oleh pihak yang berwenang.
7)      Tidak dapat menyampaikan laporan tentang status pekerjaan, lowongan penempatan, pengiriman uang pendapatan pekerja Indonesia  atau informasi yang diperlukan dalam perekrutan pekerja Indonesia .
8)      Mengganti atau merubah perjanjian kerja yang merugikan pekerja Indonesia  tanpa persetujuan pihak-pihak yang berwenang.
9)      Menahan dokumen perjalanan pekerja Indonesia  sebelum keberangkatan.
10)  Tidak mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh calon pekerja Indonesia  terkait dokumentasi untuk tujuan perekrutan padahal rekrutmen tidak benar-benar ada.

Selanjutnya, terkait dengan definisi Perjanjian Tertulis (Bilateral). Perjanjian ini sering disebut juga sebagai persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Perjanjian ini dapat ditinjau dari sudut hukum privat dan hukum publik.Dalam hukum publik, perjanjian di sini merujuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini, di masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antarnegara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Perjanjian Tertulis (Bilateral) merupakan persetujuan atau kesepakatan yang dibuat antara dua negara dalam bentuk tertulis yang mengikat kedua negara tersebut.

2.   Konsep Pelindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri
a.      Konsep Perlindungan Hukum
Salah satu tujuan dari Negara sebagaimana yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka negara harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, diatur mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh Negara. Hak Pekerja Indonesia  juga terdapat dalam Pasal 28C yang mengatur mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Selanjutnya Pasal 28D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta layak dalam hubungan kerja. Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama juga diatur dalam Pasal 28E beserta kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak mendasar bagi pekerja di luar negeri dan sekarang menimbulkan banyak persoalan adalah hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F.
Hak-hak para pekerja Indonesia yang terdapat dalam konstitusi tentunya harus menjadi pedoman dalam melakukan penggantian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Dalam perlindungan hukum yang merupakan bagian spesifik dari arti perlindungan secara luas. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum tersebut adalah:[4]
1.      Perlindungan terhadap harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap HAM yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenang-wenangan.
2.      Berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
3.      Kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Bentuk perlindungan hukum ada dua macam yaitu:[5]
1.      Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Perlindungan ini dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada hukum untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
2.      Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu peradilan hukum dan peradilan administratif di Indonesia.
Bentuk perlindungan hukum preventif adalah merupakan bentuk perlindungan yang paling tepat dalam rangka melakukan penggantian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004, maka substansi yang harus ada dalam peraturan adalah: [6]
1)      Mengatur pasal-pasal mengenai hak yang dijamin dalam undang-undang (UU), secara eksplisit dan jelas.
2)      Menyebutkan persyaratan bagi subjek hukum yang memperoleh hak tersebut secara rinci.
3)      Mencantumkan pihak yang wajib memenuhi hak yang dijamin.
4)      Mengenakan sanksi bagi pihak yang wajib memenuhi hak, tetapi tidak melaksanakan.
5)      Mengatur prosedur untuk mendapatkan hak.
6)      Mengadakan suatu lembaga tempat mengajukan keberatan ketika haknya tidak dipenuhi.
7)      Mencantumkan waktu maksimal untuk memenuhi hak setelah mengajukan keberatan. Untuk ketentuan ini dapat diwujudkan dalam peraturan pelaksananya baik peraturan pemerintah maupun peraturan presiden.
b.      Prinsip dan Asas Perlindungan Hukum
1)      Negara wajib melindungi setiap warga negaranya dimanapun mereka berada dan apapun yang mereka kerjakan. Dalam Pasal 18 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia. Pada Pasal 19b menyatakan Perwakilan RI berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri.
      Jika melihat kepada UU Nomor 37 Tahun 1999 tersebut, Negara wajib melindungi seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Perlindungan yang dimaksudkan disini diberikan secara umum kepada semua warga negaranya yang berada di luar negeri. Jadi, pekerja Indonesia di luar negeri mempunyai hak yang setara atas perlindungan dan pengakuan, tanpa memandang status dan sektor kerja mereka. Oleh sebab itu, pekerja Indonesia termasuk mereka yang bekerja di sektor domestik, berhak atas perlindungan tersebut.[7] Perlindungan pekerja Indonesia  lebih mengarah pada perlindungan yang lebih substansial demi peningkatan kesejahteraan pekerja Indonesia  dan keluarga pekerja Indonesia  yang didasarkan pada nilai non diskriminasi, keselamatan dan perlakuan yang adil, pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia, informasi yang benar bagi pekerja Indonesia  dan keluarganya, akses atas keadilan, kesetaraan dan keadilan gender, kepemilikan pengetahuan dan keterampilan, demokrasi dan representasi, kerjasama dan peran serta masyarakat, serta keadilan dan pemerataan pembangunan.
2)      Dalam upaya perlindungan yang diberikan oleh negara, perlu kejelasan mengenai perlindungan hukum yang berlaku dan wajib diikuti oleh setiap WNA yang ada di negara tersebut. Oleh karena itu, dalam proses penempatan Pekerja Indonesia  di Luar Negeri, negara wajib melakukan perjanjian bilateral (bilateral agreemen) dengan negara penerima yang belum memiliki peraturan perundang-undangan bagi Tenaga Kerja Asing atau dengan negara penerima yang sudah memiliki peraturan perundang-undangan bagi Tenaga Kerja Asing.

c.       Prapenempatan
Masa prapenempatan merupakan keadaan dimana proses sebelum pekerja Indonesia  ditempatkan di negara penerima. Tahapan ini merupakan proses awal untuk penempatan pekerja Indonesia ke luar negeri, termasuk di dalamnya kegiatan rekrutmen yang dilakukan setelah ada permintaan pengiriman pekerja Indonesia dari agen di luar negeri yang telah di verifikasi oleh Perwakilan RI di negara penerima. Dalam proses rekrutmen ini, dilakukan verifikasi data calon pekerja Indonesia, apakah sudah sesuai dengan syarat sebagai calon pekerja Indonesia, termasuk tes kesehatan dan psikologi bagi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Kemudian setelah secara administrasi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut dinyatakan lulus dan memenuhi syarat, maka tahap selanjutnya dilakukan pelatihan dimana bahan dan lamanya pelatihan ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Bagi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dengan tujuan Negara Timur Tengah, lamanya pelatihan minimal 200 jam berdasarkan Keputusan Dirjen Binallatas No.Kep163/Lattas/XI/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pelatihan dan Sertifikasi CTKI PLRT penempatan kawasan Timur Tengah untuk CTKI  berpengalaman dan non berpengalaman. Pekerja Indonesia yang sudah mengikuti pelatihan, bisa mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Pada tahap ini, pelaksanaan PAP bertujuan untuk memberikan informasi tentang bahasa negara penerima, kultur dan budaya, serta informasi lain menyangkut keadaan dan kondisi negara penerima tersebut. Pekerja Indonesia  yang sudah mengikuti PAP baru bisa diberangkatkan.
d.      Penempatan
Tahap penempatan adalah tahap pekerja Indonesia mulai atau selama bekerja di negara penerima sampai pekerja Indonesia ingin kembali ke tanah air. Tahap ini dimulai sejak pekerja Indonesia tiba di negara penerima dan diterima oleh agensi di luar negeri, yang selanjutnya melaporkan kedatangan pekerja Indonesia tersebut kepada Perwakilan RI di luar negeri sebelum pekerja Indonesia tersebut disalurkan kepada penguna. Dalam tahapan ini, atase ketenagakerjaan dan/atau Perwakilan RI juga melakukan pendataan dan verifikasi ulang data dan kontrak kerja pekerja Indonesia yang dilakukan di kantor perwakilan negara tujuan. Hal ini untuk mendapatkan kepastian tempat kerja apakah sudah sesuai seperti diperjanjikan dalam perjanjian penempatan atau kontrak kerja yang telah disepakati sebelumnya. Pada masa ini, atase ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Perwakilan RI juga memberikan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja Indonesia agar ketika pekerja Indonesia  kembali ke tanah air, pekerja Indonesia  bisa melakukan pekerjaan lain dan tidak harus kembali lagi bekerja sebagai pekerja Indonesia di luar negeri.
Atase ketenagakerjaan dan/atau Perwakilan RI harus memonitor dan mengawasi kontrak kerja pekerja Indonesia yang sudah menyelesaikan kontraknya. Setelah itu, masuk kepada proses pemulangan ke tanah air yang dilaporkan kepada Perwakilan RI. Melalui proses pendataan yang demikian, dapat diketahui lebih awal setiap permasalahan yang menimpa pekerja Indonesia di luar negeri.
e.       Pascapenempatan          
Masa pascapenempatan, berlangsung sejak pekerja Indonesia telah menyelesaikan kontrak sesuai dengan perjanjian kerja yang dilakukan dengan pengguna di negara penerima, kemudian ingin kembali ke tanah air.  Pada tahap ini, termasuk proses kepulangan pekerja Indonesia  dari bandara negara penerima sampai tiba di tanah air dan kembali ke daerah asalnya. Pada tahap ini, prosedur yang dilakukan adalah mendata pekerja Indonesia dari kepulangan sampai kedatangannya kembali ke tanah air yang dilakukan oleh BNP2TKI. Sebelum pekerja Indonesia kembali ke daerah asalnya, mereka akan melakukan tes kesehatan, baik jasmani maupun rohani guna mendeteksi lebih awal apakah mereka terjangkit penyakit selama bekerja. Jika mereka sakit, maka segera dilakukan pengobatan dan perawatan selama pekerja Indonesia  tersebut berada di bandara debarkasi yang umum disebut sebagai rumah singgah, sementara bagi pekerja Indonesia  yang mengalami gangguan mental setelah bekerja di luar negeri, tetap mendapat perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pemeriksaan kesehatan ini dilakukan oleh Dinas kesehatan kab/kota di bandara debarkasi. Jika pekerja Indonesia tidak mengalami masalah kesehatan, maka pekerja Indonesia tersebut bisa langsung pulang ke daerah asalnya dengan mendapatkan perlindungan selama perjalanan sampai ke daerah asal oleh BP3TKI  bekerjasama dengan Disnaker Kab/Kota. Namun sebelumnya, hak-hak pekerja Indonesia  diselesaikan oleh BP3TKI  dan Disnaker Kab/Kota.
Pada masa pascapenempatan ini, pemerintah melalui Disnaker Kab/Kota daerah asal pekerja Indonesia mempersiapkan program reintegrasi sosial dan ekonomi untuk pekerja Indonesia setelah kembali ke daerah asal. Program ini dilakukan dalam bentuk pelayanan permodalan bagi mantan pekerja Indonesia, pemberian pendidikan dan pendampingan kewirausahaan dan pengelolaan hasil kerja, pendidikan dan pendampingan bagi organisasi pekerja Indonesia, termasuk organisasi koperasi bagi pekerja Indonesia  dan keluarganya, serta program peningkatan kesejahteraan bagi pekerja Indonesia.
f.       Pendanaan dan Jaminan Sosial bagi Pekerja Indonesia
Mengingat tidak sedikit Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang tidak mampu membayar semua biaya untuk mengurus dokumen-dokumen identitas dan keperluan pendidikan/pelatihan, maka menjadi wewenang pemerintah/daerah untuk menjaminnya. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat melakukan berbagai upaya untuk membantu calon pekerja Indonesia dan/atau pekerja Indonesia, misalnya dalam bentuk bantuan keuangan, pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga sangat ringan atau subsidi, Kredit Usaha Rakyat (KUR), tergantung kondisi dan kemampuan Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Pemerintah berwewenang menjamin adanya bantuan keuangan apabila keperluan Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dalam persiapan kerja ke luar negeri kurang. Pemerintah berkewajiban menjalankan wewenang ini, yaitu menjalankan dan mempraktikkan perlindungan yang mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat  sebagaimana amanat Konstitusi.
Pemerintah juga wajib memberikan jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan jaminan sosial meliputi kesehatan, keselamatan kerja, kesehatan reproduksi dan kematian yang berlaku sejak prapenempatan, penempatan dan pascapenempatan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, memberikan perlindungan terhadap pekerja Indonesia. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pekerja berhak memperoleh perlindungan dan jaminan dalam bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat dari peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, seperti kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Secara legal jaminan sosial kepada masyarakat sebagai bentuk pemenuhan hak asasi warga negara ini, juga tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal 28H ayat 3. Lebih lanjut tuntutan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, khususnya yang tidak mampu tertuang pada Pasal 34 ayat 2.
Pada dasarnya, tugas Pemerintah dan masyarakat tidak berhenti sampai pada perlindungan selama pengurusan kerja pekerja Indonesia  ke luar negeri saja, namun upaya memberikan pendidikan dan pemberdayaan serta pekerjaan dan penghidupan yang layak  juga wajib menjadi agenda Pemerintah dalam mencapai kesejateraan mantan pekerja Indonesia  dan masyarakat pada umumnya. Program jaminan sosial yang diberikan berada dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan tetap diawasi oleh negara.
3.   Pekerja Indonesia
Pekerja Indonesia  yang bekerja di luar negeri digolongkan atas kepemilikan dokumen, yaitu pekerja Indonesia berdokumen dan tidak berdokumen. Pekerja Indonesia  yang memiliki dokumen lengkap dan sah serta direkrut melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan merupakan pekerja Indonesia berdokumen[8], sementara pekerja Indonesia  tidak berdokumen adalah pekerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen lengkap atau dokumen jati dirinya dipalsukan dan atau yang direkrut dengan tidak melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan[9]. Selain itu juga dapat dikelompokkan berdasarkan Profesi; a) pekerja Indonesia yang memiliki keterampilan (skilled) dan b) pekerja Indonesia tidak memiliki keterampilan (unskilled).
Hak dan Kewajiban Pekerja Indonesia
Hak merupakan tuntutan yang sifatnya asasi yang dimiliki oleh semua orang. Seseorang dapat menuntut sesuatu yang menjadi kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. Setiap manusia mempunyai hak untuk berbuat, menyatakan pendapat, memberikan sesuatu kepada orang lain dan menerima sesuatu dari orang lain atau lembaga tertentu.[10]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan)[11].
Dalam upaya perlindungan pekerja Indonesia, Negara harus memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban pekerja Indonesia agar tujuan perlindungan dapat terlaksana dengan baik sehingga tercapai kesejahteraan bagi pekerja Indonesia dan anggota keluarganya. Dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, diyakini bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan perlindungan Internasional yang layak. Konvensi ini dapat dijadikan salah satu referensi karena bersifat multilateral yang mengikat bagi Negara yang ikut meratifikasi. Konvensi Internasional 1990 tidak saja memberikan perlindungan terhadap hak buruh migran itu sendiri, namun juga melindungi seluruh hak anggota keluarga buruh migrant. Perlindungan hak yang diberikan kepada buruh migran itu seperti tersebut dibawah ini:
a)      Hak buruh migran sesuai dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Setiap buruh migran dan anggota keluarganya memiliki hak-hak yang meliputi,
1)      Hak untuk bekerja di luar negeri
2)      Hak untuk memasuki dan tinggal di negara tujuan
3)      Hak atas hidup yang harus dilindungi oleh hukum
4)      Hak untuk tidak dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
5)      Hak untuk tidak diperbudak
6)      Hak untuk tidak diwajibkan melakukan kerja paksa atau kerja wajib
7)      Hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama
8)      Hak untuk berpendapat
9)      Hak atas kebebasan dan keamanan
10)  Hak atas perlindungan yang efektif oleh Negara terhadap tindak kekerasan, kerugian fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun perseorangan, kelompok ataupun lembaga
11)  Hak untuk tidak dapat dijadikan sasaran penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang; kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum
12)  Hak untuk tidak dihancurkan paspor atau dokumen yang setara milik pekerja Indonesia
13)  Hak untuk tidak boleh menjadi sasaran upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan satu persatu
14)  Hak untuk memperoleh upaya bagi perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari Pemerintah
15)  Hak untuk diakui dimanapun sebagai pribadi dimuka hukum
16)  Hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang kurang baik di negara tempat Pekerja Indonesia  bekerja dalam hal penggajian dan:
a)      Kondisi kerja lainnya, yakni uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi  apapun yang menurut hukum dan praktek nasional dicakup dalam istilah ini.
b)      Persyaratan kerja lainnya, yakni usia minimum untuk bekerja, pembatasan pekerjaan rumah, dan hal-hal lain yang menurut hukum dan praktek nasional dianggap sebagai persyaratan kerja;
17)     Hak untuk berserikat dan mengambil bagian dalam pertemuan dan kegiatan serikat pekerja dan perkumpulan lain
18)     Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi
19)     Hak untuk mentransfer dan menyimpan uang di bank
20)     Hak untuk berlibur
21)     Hak atas kebebasan untuk bergerak di wilayah negara tempat bekerja dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut
22)     Hak untuk mendapatkan hak politik, berpartisipasi dalam masalah pemerintahan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
23)     Hal atas persamaan perlakuan sama dengan warga negara dari negara tempatnya bekerja
24)     Hak atas tempat tinggal atau fasilitas umum dan sosial budaya
25)     Hak untuk memilih pekerjaan
26)     Hak atas peningkatan kapasitas diri baik melalui pendidikan formal maupun informal
27)     Hak memiliki keterampilan
28)     Hak untuk menikah atau memiliki pasangan hidup sesuai dengan pilihan orientasi seksual.
b)      Kewajiban buruh migran berdasarkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan anggota keluarganya. Selain hak yang melekat pada buruh migran, juga terdapat kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh buruh migrant antara lain:
1)      Untuk menghormati hak atau nama baik orang lain;
2)      Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum negara-negara yang bersangkutan atau ketertiban umum (order publik) atau kesehatan atau moral umum;
3)      Mencegah propaganda perang;
4)      Mencegah upaya yang mendorong kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau keagamaan yang merupakan penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan tindak kekerasan.
c)      Hak dan Kewajiban Anggota Keluarga
Selain dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh buruh migran, anggota keluarga buruh migrant juga memiliki hak yang melekat dengan kewajiban mereka, sama seperti dengan yang telah disebutkan di atas.     
d)     Selain Konvensi PBB 1990 yang memberikan acuan tentang hak dan kewajiban buruh migran, ada beberapa Hak Buruh Migran berdasarkan Konvensi Internasional (ILO) yang juga mencantumkan prinsip fundamental dan hak di tempat kerja seperti yang disebutkan pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel I. Konvensi ILO tentang Prinsip Fundamental dan Hak di Tempat Kerja
No.
Prinsip Fundamental dan Hak di Tempat Kerja
Konvensi yang Relevan

   1
Kebebasan untuk berserikat dan bernegosiasi secara kolektif

v Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi
v Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Bernegosiasi Secara Kolektif
2
Penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja yang diwajibkan
v Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa
v Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa
3
Penghapusan pekerja anak
v Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum
v Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak
4
Penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
v Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang Upah yang Sama
v Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan

Empat (4) area prinsip fundamental dan hak pekerja di tempat kerja yang tertuang dalam Deklarasi ILO tentang Prinsip Fundamental dan Hak di Tempat Kerja, berlaku untuk semua pekerja tanpa memandang kebangsaan dan status sebagai pekerja migran.
Berikut adalah hak-hak pekerja migran sesuai dengan prinsip fundamental.

Tabel 2. Hak Pekerja Migran Sesuai Prinsip Fundamental
No.
Prinsip Fundamental
Hak Pekerja Migran

1.
Kebebasan untuk berserikat dan bernegosiasi secara kolektif

v  Membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja migran
v  Terlibat dalam negosiasi kolektif terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi kondisi kerja pekerjaan
v  Memilih perwakilan
v  Menggunakan sarana/media untuk arbitrasi dan perdamaian dalam penyelesaian perselisihan
v  Mogok
v  Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
v  Bebas dari penangkapan dan penahanan semena-mena
v  Kebebasan untuk berpendapat dan berekspersi dan secara khusus bebas untuk mempertahankan pendapat tanpa campur tangan
v  Hak untuk mencari, menerima dan memberi informasi, serta gagasan melalui media manapun tanpa pembatasan hak untuk berkumpul
v  Hak untuk diadili secara adil oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak
v  Hak atas perlindungan hak milik serikat pekerja
2.
Penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja yang diwajibkan
Bekerja harus didasarkan atas pilihan dan insentif, bukan didasarkan atas paksaan atau ancaman. Implikasinya, di antaranya:
v  Pekerja migran tidak boleh dipaksa bekerja di bawah ancaman hukuman
v  Pekerja migran secara fisik tidak boleh dikurung
v  Pekerja migran dapat mengakhiri atau diakhiri pekerjaannya sesuai dengan ketentuan hukum nasional
v  Pendisiplinan terhadap pekerja migran yang melanggar aturan di tempat kerja tidak boleh dilakukan dalam bentuk kerja paksa
v  Pekerja migran yang terlibat dalam kegiatan mogok yang sah menurut undang-undang tidak boleh diminta bekerja secara paksa
3.
Penghapusan pekerja anak
v  Anak dibawah usia 15 tahun tidak diperbolehkan bekerja. Bila terpaksa bekerja, jam kerja tidak boleh lebih dari jam usai sekolah
v  Pekerjaan berbahaya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun
v  Untuk memonitor usia anak, negara dituntut untuk membuat sistem registrasi kelahiran
v  Hak anak-anak pekerja migran untuk mendapatkan akte kelahiran
v  Hak bagi anak pekerja migran atau pekerja migran anak untuk bebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak
4.
Penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Larangan diskriminasi berdasarkan seks, ras, agama, etnis, status perkawinan, dll
Menurut standar internasional yang ada dalam Konvensi ILO dan Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dalam seluruh proses migrasi pekerja migran terdapat hak-hak pekerja migran yang semestinya dipenuhi. Berikut adalah hak-hak pekerja migran selama proses migrasi.
Tabel 3. Hak Pekerja Migran Selama Proses Migrasi
No.
Proses Migrasi
Hak Pekerja Migran
1.
Pra pemberangkatan dan perjalanan ke negara tujuan

1.1. Pemberian informasi

v  Mendapatkan informasi tentang kondisi kerja dan kehidupan di negara tujuan.
v  Informasi disediakan dengan cara yang bisa diakses calon pekerja migran dan diberikan dalam bahasa yang bisa dipahami para pekerja migran. 
v  Informasi diberikan secara cuma-cuma
v  Ada tindakan tegas terhadap mereka yang memberikan informasi tidak benar terkait dengan migrasi pekerja migrant
1.2. Perekrutan
v  Perekrutan pekerja migran dilakukan oleh: badan pemerintah, majikan yang prospektif, dan agen tenaga kerja yang resmi/terakreditasi
v  Majikan dan agensi perekrut tenaga kerja harus mendapat ijin dari lembaga pemerintah
v  Monitoring dan pengawasan ketat terhadap majikan dan agen perekrut untuk mencegah terjadinya hal-hal berikut:
1.    tingginya biaya perekrutan yang dibebankan kepada pekerja migran
2.    kecurangan dalam pembuatan dan pelaksanaan kontrak
3.    pemberian informasi yang tidak benar
4.    pelanggaran atas ketentuan imigrasi atau penempatan pekerja migran tanpa dokumen
v  Pemberian ijin pada agen diberikan hanya untuk sektor kerja tertentu
v  Pekerja migran tidak dikenakan biaya perekrutan. Kalaupun ada biaya yang dibebankan pada pekerja migran, jumlahnya harus sangat terbatas
v  Majikan dan agen dilarang melakukan pemotongan gaji pekerja migran.
1.3. Penandata-nganan kontrak
v  Sebelum berangkat ke negara tujuan, pekerja migran berhak untuk mendapatkan perjanjian kerja tertulis yang berisi tentang pekerjaan, ruang lingkup pekerjaan, kondisi kerja, besarnya upah/gaji dan jangka waktu  berlangsungnya kontrak.
v  Perjanjian kerja dan dokumen lainnya ditulis dalam bahasa yang dimengerti pekerja migran. Bila yang bersangkutan berpendidikan rendah, maka isi kontrak harus dijelaskan pada yang bersangkutan
v  Perjanjian kerja dan ijin kerja tidak boleh melanggar hak pekerja migran yang dijamin dalam konvensi. Misalnya, tidak boleh ada ketentuan yang melarang pekerja migran untuk masuk dalam serikat pekerja, untuk tidak menikah, untuk hamil atau mewajibkan pekerja migran untuk tes kehamilan secara berkala
1.4. Tes dan pelayanan kesehatan
v  Pekerja migran berhak atas tes dan pelayanan kesehatan sebelum berangkat, selama dalam perjalanan dan ketika sampai di negara tujuan
v  Pekerja migran tidak dipaksa/diwajibkan untuk menjalani tes kesehatan yang tidak terjaga kerahasiaannya, seperti test kehamilan, tes HIV/AID, dll. 
v  Pekerja migran tidak dihilangkan haknya untuk bekerja ketika positif hamil atau mengidap HIV/AID
1.5. Pemberangkatan
v  Pekerja  migran – khususnya yang baru pertama kali ke luar negeri – berhak untuk mendapatkan pelayanan/bantuan dalam menghadapi proses terkait dengan proses perjalanan dan imigrasi.
v  Pelayanan diberikan secara cuma-cuma
v  Pekerja migran tidak membiayai sendiri pengeluaran yang dibutuhkan untuk perjalanan ke negara tujuan. Perekrut dan majikan wajib menanggung pengeluaran ini
v  Bila pekerja migran tidak memiliki kontrak dengan majikan atau berangkat dengan inisiatif sendiri, biaya perjalanan dibuat seminimum mungkin
2.
Tiba di negara tujuan
v  Hak untuk mendapatkan program orientasi yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi di negara tujuan
v  Hak untuk terbebas dari kewajiban adat setempat
v  Hak untuk mendapatkan pelayanan secara cuma-cuma dalam menemukan pekerjaan yang sesuai
v  Hak untuk mendapatkan informasi dan pelayanan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru
v  Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam mendapatkan akomodasi
3.
Selama bekerja
v  Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan pekerja lokal terkait dengan kondisi kerja, termasuk gaji, keanggotaan dalam serikat buruh, akomodasi, jaminan sosial (dalam batas tertentu), pajak dan perlakuan di tempat kerja
v  Upah: 1) upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Besaran upah ditentukan secara obyektif berdasarkan karakter pekerjaan (terkait dengan dengan keterampilan, pengetahuan, kondisi kerja dan tanggung jawab) dan tidak didasarkan pada jenis kelamin dan kebangsaan, 2) upah tidak di bawah standar, 3) upah dibayar langsung, 4) upah dikelola oleh pekerja
v  Perlakuan yang sama dengan pekerja dalam hal  kondisi kerja, seperti: jam kerja, waktu istirahat, waktu lembur, hari libur, kesempatan belajar/ training, perlindungan dari bahan berbahaya, alat berbahaya, polusi getaran dan suara, perlindungan dari kekerasan fisik dan seksual, jaminan sosial, dan pelayanan lainnya
v  Hak atas kesehatan dan keselamatan kerja
v  Hak atas peluang kerja dan untuk bertukar pekerjaan
v  Hak untuk bebas bergerap
v  Hak untuk mengakses keadilan
4.
Pemulangan dan reintegrasi
v  Hak untuk tidak dideportasi dan di-PHK tanpa alasan sah
v  Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bila di-PHK sewenang-wenang
v  Pekerja migran yang gagal bukan atas kesalahannya mereka tidak harus membayar sendiri biaya pemulangan ke negara asal
v  Hak untuk mendapatkan pembayaran upah, pengembalian upah yang dipotong, kompensasi hari libur yang tidak diambil, pembayaran kembali atas kontribusi untuk jaminan sosial
v  Akses atas keadilan dan bantuan hukum bila ada hak yang dilanggar
v  Hak untuk mendapatkan keamanan dan bebas dari pemerasan
v  Hak untuk mendapatkan perlindungan terkait dengan hasil kerja dan kehidupan sosial

4.      Kelembagaan yang bertanggung jawab
Dalam teori kelembagaan, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses  memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Negara dipandang sebagai suatu sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antarkelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.[12]
Negara sebagai suatu organisasi, yang memiliki kewenangan yang dapat mengikat secara tegas kepada warga negaranya dengan tujuan untuk memberikan perlindungan. Dalam upaya perlindungan kepada pekerja Indonesia  melalui upaya pelaksanaan pengelolaan pekerja Indonesia, negara memerintahkan kepada lembaga negara yang ditunjuk untuk berperan sebagai pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, pengawasan, dan pengelolaan pendanaan dan jaminan sosial bagi pekerja Indonesia. Tiap-tiap lembaga negara tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang tegas dan tidak boleh saling tumpang tindih, agar perlindungan bagi pekerja Indonesia  dapat terlaksana dengan baik, jika semua tugas dan kewenangan badan tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Lembaga negara yang terlibat dalam pemberian perlindungan bagi pekerja Indonesia  seperti yang dijelaskan seperti di bawah ini:    
a.      Pembuat kebijakan
Pembuat kebijakan merupakan suatu organisasi, badan atau lembaga yang ditunjuk dan memiliki kewenangan untuk mengatur sekelompok orang atau masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga atau badan ini merupakan kebijakan yang bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat guna melindungi masyarakat. Pembuat kebijakan dapat menuntut masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya yaitu mematuhi seluruh aturan yang sudah ditetapkan sebelum masyarakat menuntut haknya. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia seperti terdapat dalam UUD NRI 1945.
Kebijakan atau peraturan yang mengatur mengenai perlindungan bagi tenaga kerja dulu  hanyalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang melindungi tenaga kerja di dalam negeri saja. Sedangkan bagi tenaga kerja yang bekerja di luar negeri masih belum dilindungi. Oleh karena itu, negara mengeluarkan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kewenangan untuk melindungi baik tenaga kerja di dalam negeri maupun tenaga kerja di luar negeri berada pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam UU Nomor 39 Tahun 2004,  Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) memiliki beberapa kewenangan dan tanggung jawab dalam memberikan perlindungan bagi TKI, antara lain
(1)     Memberi izin PPTKIS untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri (Pasal 1 angka 5)
(2)     Memberikan Surat Izin Pengerahan (SIP) kepada PPTKIS untuk merekrut calon TKI (Pasal 1 angka 14)
(3)     Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri (Pasal 5 ayat 1)
(4)     Melimpahkan sebagian wewenang dan tugas pembantuan kepada pemerintah daerah (Pasal 2 ayat 2)
(5)     Bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri (Pasal 6)
(6)     Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;(Pasal 7 huruf a)
(7)     Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; (Pasal 7 huruf b)

b.      Pelaksana penempatan
Pelaksana merupakan badan atau lembaga yang ditunjuk atau mendapat ijin dari undang-undang untuk melakukan atau menyelenggarakan kegiatan tertentu. Pelaksana bertugas melaksanakan jalannya suatu kegiatan. Jika  terjadi pelanggaran atas pelaksanaan kegiatan, maka pelaksana dapat memberikan sanksi, berupa sanksi administrasi, denda maupun sanksi lainya. UU Nomor 39 Tahun 2004 dalam Pasal 10 menunjuk pelaksana penempatan TKI Swasta sebagai badan/lembaga yang menyelenggarakan penempatan TKI ke luar negeri.
Banyaknya kasus yang terjadi pada pekerja Indonesia di luar negeri  dan semakin banyaknya keinginan masyarakat untuk bekerja di luar negeri, maka kelembagaan yang ditunjuk sebagai pelaksana penempatan TKI ada saat itu yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (Ditjen PPTKLN) Kemenakertrans RI, dianggap kurang memadai untuk mengelola urusan TKI. Untuk itu diamanatkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri agar di bentuk BNP2TKI dengan Perpres.
Dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2006 tentang BNP2TKI, menghapuskan Ditjen PPTKLN Kemenakertrans RI. Menurut UU Nomor 39 Tahun 2004 dan Perpres Nomor 81 Tahun 2006 jelas disebutkan bahwa BNP2TKI adalah merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) (Pasal 94 ayat 3) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden serta memiliki unit pelaksana di daerah bernama BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI). Dalam Pasal 94 UU Nomor 39 Tahun 2004, dinyatakan BNP2TKI dibentuk untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri guna melakukan pelayanan dan tanggung jawab terpadu.
      BNP2TKI memiliki fungsi pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk memberikan perlindungan kepada TKI yaitu lembaga pembuat kebijakan penempatan dan perlindungan TKI.  Pada Pasal 95 ayat (2) butir a, BNP2TKI bertindak sebagai pelaksana penempatan TKI ke luar negeri untuk penempatan G to G.
Pelaksanaan Penempatan TKI secara P to P di dilakukan oleh Pelaksana Penempatan TKI swasta (PPTKIS) yang sudah mendapatkan ijin tertulis dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Tanggung jawab PPTKIS dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI dimulai dari tahap prapenempatan, penempatan dan purna penempatan. Perlindungan yang harus diberikan oleh PPTKIS kepada TKI sejauh apa yang sudah diperjanjikan dalam perjanjian penempatan (Pasal 82), menyelesaikan sengketa dengan TKI secara damai dengan cara musyawarah dan meminta bantuan instansi ketenagakerjaan di kabupaten/kota, provinsi atau Pemerintah jika terjadi sengketa tanpa adanya kesepakatan (Pasal 85 ayat 2).
c.       Pengawas
Pengawas merupakan suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk mengawasi jalannya, sejak dimulai sampai berakhirnya suatu kegiatan dengan memberikan laporan kepada lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang. Penunjukan suatu badan atau lembaga pengawas dalam upaya perlindungan bagi TKI terdapat di dalam Pasal 92 ayat 1 UU No.39 Tahun 2004, yang menyatakan: pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri diamanatkan kepada Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi terkait. Hasil pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI yang berada di wilayah atau daerahnya dilaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya (Pasal 93 ayat 1).
Selama menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya, Pemerintah Daerah Provinsi juga dapat melakukan penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran atas kebenaran laporan tentang tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI (Pasal 101 ayat 2 butir a), terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang penempatan dan perlindungan TKI.
Kewenangan yang ada pada Pemerintah Daerah Provinsi, hanya sebatas pada lingkup pengawasan di dalam negeri. Sementara pengawasan di luar negeri diberikan kepada Atase Ketenagakerjaan dan/atau Perwakilan RI di negara penerima, melakukan pengawasan terhadap kinerja Mitra Usaha/Mitra Kerja PPTKIS dan pengguna TKI di negara penerima. Dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk menjadi koordinator hubungan luar negeri. Salah satu mandat yang diberikan oleh undang-undang adalah untuk memberikan perlindungan kepada setiap WNI yang berada di luar negeri. Jadi, seluruh atase yang berada di luar negeri, baik atase perdagangan, ketenagakerjaan, maupun kebudayaan semua berada di bawah koordinasi Perwakilan RI.


d.      Penyelenggara Program Jaminan Sosial Pekerja Indonesia
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan suatu badan yang dibentuk berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sah dan diakui keberadaannya untuk menjalankan suatu kegiatan pengumpulan dana dari sekelompok masyarakat yang menjamin terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Badan yang bertanggung jawab sebagai pengelola pendanaan dan jaminan sosial bagi pekerja Indonesia akan diserahkan setelah ditemukan kejelasan dan kesepakatan bersama mengenai bentuk, jenis, dan pelaksanaannya. Badan Penyelenggara Jamianan Sosial (BPJS) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 sebagai manifestasi lebih lanjut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional memiliki mekanisme tersendiri yang telah diatur sedemikian rupa untuk melindungi jaminan sosial pekerja Indonesia di luar negeri. Hal terpenting yang harus menjadi perhatian adalah bahwa badan pengelola pendanaan dan jaminan sosial dapat memberikan kesejahteraan bagi pekerja Indonesia beserta keluarganya, dimana mekanisme pelaksanaannya berada di bawah pengawasan Pemerintah.
e.       Mekanisme Pengaduan, Pelaporan, dan Gugatan
Pengaduan merupakan suatu bentuk penyampaian baik tertulis maupun secara lisan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atas ketidaksenangan atau kegiatan yang melanggar norma dan aturan yang memberikan jaminan dalam hidup bermasyarakat. Dalam hubungan pekerja Indonesia dengan sistem perlindungan terhadap pekerja Indonesia di luar negeri, materi muatan pengaduan adalah peraturan atau hukum yang tidak dijalankan oleh pihak yang berwenang dan pelanggaran oleh siapapun terhadap pasal-pasal yang menjamin perlindungan para pekerja Indonesia.
Yang berhak mengajukan pengaduan atau laporan  adalah:
1.      Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri atau keluarganya serta masyarakat pada umumnya dapat memberikan pengaduan/pelaporan atas kasus yang dialami melalui  lembaga bantuan hukum atau lembaga kemasyarakatan sebagai lembaga yang terdekat. Kemudian lembaga bantuan hukum atau lembaga kemasyarakatan dapat merujuk dan bekerjasama dengan Disnakertrans setempat untuk menindaklanjuti kasus serta mengoordinasikan dengan instansi lain yang terkait (Polisi, PPPILN, sponsor, dll.)
2.      Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri atau  keluarganya serta masyarakat dapat memberikan pengaduan/pelaporan atas kasus yang dialami melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga kemasyarakatan yang ada yang dapat menangani kasus hubungan tenaga kerja.
Tata cara penyampaian gugatan atau laporan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.




[3] http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf yang didownload pada tanggal 7 Februari 2011
[4]  Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia  di Luar Negeri, RDP antara Pakar dengan Panja Pekerja Indonesia  Komisi IX tanggal 16 Desember 2010, hal 8-9.
[5] Ibid, hal 10
[6] Op cit.
[7] Artikel ILO, “Memerangi Kerja Paksa dan Perdagangan Pekerja Migran Indonesia”, didownload tanggal 2 september 2010.
[8] Diambil dari bahan Draf Naskah akademik Ecosoc Rights, 2010
[9] Ibid
[10] http://syehaceh.wordpress.com/tag/hak/, didownload tanggal 9 Februari 2011
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Hak, didownload tanggal 9 Februari 2011

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger