- Definisi Konsep
Definisi konsep tenaga kerja adalah
setiap orang yang dapat melakukan suatu pekerjaan untuk menghasilkan barang
atau jasa guna memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat (Pasal
1 angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Konsep Tenaga kerja dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut
lebih menitikberatkan kepada tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri,
sementara Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang merupakan warga Negara
Indonesia, dapat melakukan pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri
maupun masyarakat, yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan dengan remunerasi (mendapatkan imbalan gaji,
upah, dsb) di suatu negara, dimana dia bukan merupakan warga negara tersebut[1]
dan telah memenuhi syarat untuk dapat bekerja di luar negeri dalam suatu
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak antara pekerja
Indonesia dan pengguna.
Dalam konteks sosial dan konsep
perburuhan internasional, pekerja
Indonesia terkait erat dengan keluarganya dimana pengertian keluarga di sini mengacu
pada orang-orang yang kawin dengan pekerja
Indonesia atau yang mempunyai hubungan hukum dengan pekerja Indonesia sesuai
ketentuan yang berlaku, dan juga anak-anak mereka yang di bawah umur dan
orang-orang lain yang menjadi tanggungan mereka yang dianggap sebagai anggota
keluarga menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[2] Termasuk disini adalah orang tua, anak,
suami, istri atau pihak lain yang dapat dibuktikan dengan dokumen yang sah.
Jadi, keluarga pekerja Indonesia meliputi
setiap orang atau individu yang memiliki ikatan kekerabatan karena
darah/kelahiran, pengangkatan/pengakuan, maupun karena keputusan pengadilan
menjadi bagian dari keluarga pekerja
Indonesia.
Ketika
seorang pekerja
Indonesia mendapatkan pekerjaan di luar negeri atas usaha sendiri tanpa
menggunakan pihak lain seperti jasa pelaksana penempatan pekerja Indonesia dimana telah memenuhi syarat administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka pekerja Indonesia ini disebut pekerja Indonesia mandiri. Adapun pekerja Indonesia
yang mengalami pelanggaran hak asasi,
baik hak asasi sebagai pekerja, sebagai manusia maupun sebagai warga negara
yang membutuhkan bantuan dalam hal informasi, medis, perawatan rumah sakit,
pemulihan fisik dan mental, atau bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar
negeri, dikategorikan sebagai pekerja
Indonesia yang bermasalah. Pekerja
Indonesia yang bermasalah dengan hukum
bisa mendapatkan bantuan hukum berupa segala upaya pendampingan, konsultasi dan
pembelaan hukum kepada pekerja
Indonesia dan/atau keluarganya yang sedang menghadapi masalah pada masa prapenempatan,
penempatan, dan pascapenempatan di luar negeri.
Definisi
konsep lainnya adalah pekerja
Indonesia di bawah umur, dimana mereka
berumur kurang dari 18 tahun atau kurang dari umur minimum yang dipersyaratkan
untuk bekerja di luar negeri. Pekerja Indonesia di bawah umur ini juga dikategorikan sebagai
salah satu kelompok rentan; yaitu pekerja
Indonesia yang membutuhkan perlindungan
khusus dari negara, terlebih bila mengingat kualitas perlindungan pemerintah
negara tujuan yang semakin rendah, karena karakter atau sifat pekerjaannya,
kualifikasi persyaratan yang dimiliki, dan/atau keberadaannya di daerah
perbatasan, yang membuat mereka rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Yang tergolong kelompok rentan di sini
diantaranya adalah pekerja
Indonesia yang bekerja di sektor
domestik dan entertainment, pekerja Indonesia yang tidak
berdokumen, pekerja
Indonesia dibawah umur, dan pekerja Indonesia yang berada di daerah perbatasan.
Untuk seseorang yang berada atau sedang dalam proses pelatihan kerja secara
utuh dan terpadu di luar negeri oleh lembaga pelatihan
kerja atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga pendidikan di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur dan/atau pekerja yang lebih berpengalaman,
dalam proses produksi barang dan/atau jasa, dalam rangka menguasai keterampilan
atau keahlian tertentu, dapat
dikategorikan sebagai tenaga kerja magang (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemagangan di Luar Negeri).
Proses
perekrutan calon pekerja
Indonesia di luar negeri guna memenuhi
kebutuhan permintaan pengguna di negara penerima melalui agen yang ditunjuk
resmi merupakan proses rekrutmen. Sementara, segala tindakan untuk mempengaruhi
atau membujuk seseorang/sekelompok orang dengan cara manipulatif dan tekanan
dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji yang besar yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu dengan atau tanpa sepengetahuan pihak berwenang, disebut
dengan rekrutmen ilegal. Beberapa tindakan yang merupakan rekrutmen ilegal,
meliputi:
1)
Menerima biaya rekrutmen
yang lebih besar dari yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
atau membuat pencari kerja membayar biaya melebihi jumlah yang telah
ditetapkan.
2) Memberikan
informasi pekerjaan yang tidak benar atau menerbitkan dokumen palsu terkait
rekruitmen pekerja
Indonesia.
3) Melakukan segala tindakan untuk memperoleh dokumen palsu.
4) Membujuk seseorang pekerja
yang sudah bekerja untuk berhenti bekerja dengan tujuan menawarkan pekerjaan lain.
5) Perekrutan pekerja Indonesia untuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan
umum, moralitas, dan/atau martabat bangsa Indonesia.
6) Menghalangi pemeriksaan
dokumen calon pekerja Indonesia yang dilakukan oleh pihak yang berwenang.
7) Tidak dapat menyampaikan
laporan tentang status pekerjaan, lowongan penempatan, pengiriman uang
pendapatan pekerja Indonesia atau informasi yang diperlukan dalam
perekrutan pekerja Indonesia .
8) Mengganti atau merubah perjanjian kerja yang merugikan pekerja Indonesia tanpa persetujuan pihak-pihak yang berwenang.
9) Menahan dokumen perjalanan pekerja Indonesia sebelum keberangkatan.
10) Tidak mengganti biaya yang
telah dikeluarkan oleh calon pekerja Indonesia terkait dokumentasi untuk tujuan perekrutan
padahal rekrutmen tidak benar-benar ada.
Selanjutnya, terkait dengan definisi
Perjanjian Tertulis (Bilateral). Perjanjian ini sering disebut juga sebagai
persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu.
Perjanjian ini dapat ditinjau dari sudut hukum privat dan hukum publik.[3]
Dalam hukum publik, perjanjian di sini merujuk kepada Perjanjian Internasional. Saat
ini, di masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antarnegara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya. Perjanjian Tertulis (Bilateral) merupakan persetujuan
atau kesepakatan yang dibuat antara dua negara dalam bentuk tertulis yang
mengikat kedua negara tersebut.
2. Konsep Pelindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri
a.
Konsep
Perlindungan Hukum
Salah
satu tujuan dari Negara sebagaimana yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai konsekuensi
dari negara hukum, maka negara harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia (HAM).
Dalam
Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, diatur mengenai hak atas pekerjaan dan
penghidupan layak bagi setiap
warga negara yang harus dipenuhi oleh Negara. Hak Pekerja Indonesia juga terdapat dalam Pasal 28C yang mengatur
mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Selanjutnya
Pasal 28D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan berhak
untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta layak dalam hubungan
kerja. Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama juga diatur
dalam Pasal 28E beserta kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Hak mendasar bagi pekerja di luar negeri dan sekarang menimbulkan
banyak persoalan adalah hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28F.
Hak-hak para pekerja Indonesia yang terdapat dalam konstitusi tentunya harus menjadi
pedoman dalam melakukan penggantian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Dalam perlindungan hukum yang merupakan bagian spesifik dari arti perlindungan
secara luas. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum tersebut adalah:[4]
1. Perlindungan terhadap harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap HAM yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenang-wenangan.
2. Berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
3. Kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi
suatu hal dari hal lainnya.
Bentuk perlindungan hukum ada dua macam yaitu:[5]
1. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum
yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah
dengan rakyat. Perlindungan ini dilakukan dengan cara memberikan kesempatan
kepada hukum untuk mengajukan keberatan (inspraak)
atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
2. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum
yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan oleh lembaga
peradilan, yaitu peradilan hukum dan peradilan administratif di Indonesia.
Bentuk perlindungan hukum preventif adalah merupakan
bentuk perlindungan yang paling tepat dalam rangka melakukan penggantian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004, maka substansi yang
harus ada dalam peraturan adalah: [6]
1) Mengatur pasal-pasal mengenai hak yang dijamin dalam
undang-undang (UU), secara eksplisit dan jelas.
2) Menyebutkan persyaratan bagi subjek hukum yang
memperoleh hak tersebut secara rinci.
3) Mencantumkan pihak yang wajib memenuhi hak yang
dijamin.
4) Mengenakan sanksi bagi pihak yang wajib memenuhi hak,
tetapi tidak melaksanakan.
5) Mengatur prosedur untuk mendapatkan hak.
6) Mengadakan suatu lembaga tempat mengajukan keberatan
ketika haknya tidak dipenuhi.
7) Mencantumkan waktu maksimal untuk memenuhi hak setelah mengajukan keberatan. Untuk ketentuan
ini dapat diwujudkan dalam peraturan pelaksananya baik peraturan pemerintah
maupun peraturan presiden.
b.
Prinsip
dan Asas Perlindungan Hukum
1)
Negara wajib melindungi
setiap warga negaranya dimanapun mereka berada dan apapun yang mereka kerjakan.
Dalam Pasal 18 UU Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri, Pemerintah Republik Indonesia melindungi
kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi
permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia. Pada Pasal 19b menyatakan
Perwakilan RI berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan
bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri.
Jika
melihat kepada UU Nomor 37 Tahun 1999 tersebut, Negara wajib melindungi seluruh
warga negaranya tanpa kecuali. Perlindungan yang dimaksudkan disini diberikan
secara umum kepada semua warga negaranya yang berada di luar negeri. Jadi, pekerja Indonesia di luar negeri mempunyai
hak yang setara atas perlindungan dan pengakuan, tanpa memandang status dan
sektor kerja mereka. Oleh sebab itu, pekerja
Indonesia termasuk mereka yang bekerja di sektor domestik, berhak atas perlindungan
tersebut.[7]
Perlindungan pekerja Indonesia lebih mengarah pada perlindungan yang lebih
substansial demi peningkatan kesejahteraan pekerja Indonesia dan keluarga pekerja Indonesia yang didasarkan pada nilai non diskriminasi,
keselamatan dan perlakuan yang adil, pengakuan atas martabat dan hak asasi
manusia, informasi yang benar bagi pekerja Indonesia dan keluarganya,
akses atas keadilan, kesetaraan dan keadilan gender, kepemilikan pengetahuan
dan keterampilan, demokrasi dan representasi, kerjasama dan peran serta
masyarakat, serta keadilan dan pemerataan pembangunan.
2) Dalam upaya perlindungan yang diberikan oleh negara,
perlu kejelasan mengenai perlindungan hukum yang berlaku dan wajib diikuti oleh setiap WNA yang
ada di negara tersebut. Oleh karena itu, dalam proses penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri, negara wajib melakukan perjanjian bilateral
(bilateral agreemen) dengan negara penerima
yang belum memiliki peraturan perundang-undangan bagi Tenaga Kerja Asing atau dengan negara penerima yang sudah memiliki
peraturan perundang-undangan bagi Tenaga Kerja Asing.
c.
Prapenempatan
Masa prapenempatan
merupakan keadaan dimana proses sebelum pekerja
Indonesia ditempatkan di negara penerima.
Tahapan ini merupakan proses awal untuk penempatan pekerja Indonesia ke
luar negeri, termasuk di dalamnya kegiatan rekrutmen yang dilakukan setelah ada
permintaan pengiriman pekerja
Indonesia dari agen di luar negeri yang telah di verifikasi oleh Perwakilan
RI di negara penerima. Dalam proses
rekrutmen ini, dilakukan verifikasi data calon
pekerja Indonesia,
apakah sudah sesuai dengan syarat
sebagai calon pekerja Indonesia, termasuk tes
kesehatan dan psikologi bagi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Kemudian
setelah secara administrasi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut dinyatakan
lulus dan memenuhi syarat, maka tahap selanjutnya dilakukan pelatihan dimana
bahan dan lamanya pelatihan ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Bagi
Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dengan tujuan Negara Timur Tengah,
lamanya pelatihan minimal 200 jam berdasarkan Keputusan Dirjen Binallatas No.Kep163/Lattas/XI/2009
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pelatihan dan Sertifikasi CTKI PLRT penempatan kawasan Timur Tengah untuk CTKI berpengalaman dan non berpengalaman.
Pekerja Indonesia yang sudah mengikuti pelatihan,
bisa mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Pada tahap ini,
pelaksanaan PAP bertujuan untuk memberikan informasi tentang bahasa negara
penerima, kultur dan budaya, serta informasi lain menyangkut keadaan dan
kondisi negara penerima tersebut. Pekerja Indonesia yang sudah mengikuti PAP baru bisa
diberangkatkan.
d.
Penempatan
Tahap
penempatan adalah tahap pekerja
Indonesia mulai atau selama bekerja di negara penerima sampai pekerja Indonesia ingin
kembali ke tanah air. Tahap ini dimulai sejak pekerja Indonesia tiba di negara penerima
dan diterima oleh agensi di luar negeri, yang selanjutnya melaporkan kedatangan
pekerja Indonesia
tersebut kepada Perwakilan RI di luar negeri sebelum pekerja Indonesia
tersebut disalurkan kepada penguna. Dalam tahapan ini, atase ketenagakerjaan
dan/atau Perwakilan RI juga melakukan pendataan dan verifikasi ulang data dan
kontrak kerja pekerja
Indonesia yang dilakukan di kantor perwakilan negara tujuan. Hal ini untuk
mendapatkan kepastian tempat kerja apakah sudah sesuai seperti diperjanjikan
dalam perjanjian penempatan atau kontrak kerja yang telah disepakati
sebelumnya. Pada masa ini, atase ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Perwakilan
RI juga memberikan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja
Indonesia agar ketika pekerja Indonesia kembali ke tanah air, pekerja Indonesia bisa melakukan pekerjaan lain dan tidak harus
kembali lagi bekerja sebagai pekerja
Indonesia di luar negeri.
Atase ketenagakerjaan dan/atau Perwakilan
RI harus memonitor dan mengawasi kontrak kerja pekerja Indonesia yang sudah
menyelesaikan kontraknya. Setelah itu, masuk kepada proses pemulangan ke tanah
air yang dilaporkan kepada Perwakilan RI. Melalui proses pendataan yang
demikian, dapat diketahui lebih awal setiap permasalahan yang menimpa pekerja Indonesia di
luar negeri.
e.
Pascapenempatan
Masa
pascapenempatan,
berlangsung sejak pekerja
Indonesia telah menyelesaikan kontrak sesuai dengan perjanjian kerja yang dilakukan dengan
pengguna di negara penerima, kemudian ingin kembali ke tanah air. Pada tahap ini, termasuk proses kepulangan pekerja Indonesia dari bandara negara penerima sampai tiba di
tanah air dan kembali ke daerah asalnya. Pada tahap ini, prosedur yang dilakukan
adalah mendata pekerja
Indonesia dari kepulangan sampai kedatangannya kembali ke tanah air yang
dilakukan oleh BNP2TKI. Sebelum pekerja
Indonesia kembali ke daerah asalnya, mereka akan melakukan tes kesehatan, baik
jasmani maupun rohani guna mendeteksi lebih awal apakah mereka terjangkit
penyakit selama bekerja. Jika mereka sakit, maka segera dilakukan pengobatan
dan perawatan selama pekerja
Indonesia tersebut berada di bandara
debarkasi yang umum disebut sebagai rumah singgah, sementara bagi pekerja Indonesia yang mengalami gangguan mental setelah bekerja
di luar negeri, tetap mendapat
perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Pemeriksaan kesehatan ini dilakukan oleh Dinas kesehatan kab/kota di bandara
debarkasi. Jika pekerja
Indonesia tidak mengalami masalah kesehatan, maka pekerja Indonesia
tersebut bisa langsung pulang ke daerah asalnya dengan mendapatkan perlindungan
selama perjalanan sampai ke daerah asal oleh BP3TKI bekerjasama dengan Disnaker Kab/Kota. Namun
sebelumnya, hak-hak pekerja
Indonesia diselesaikan oleh BP3TKI dan Disnaker Kab/Kota.
Pada
masa pascapenempatan ini, pemerintah
melalui Disnaker Kab/Kota daerah asal pekerja
Indonesia mempersiapkan program reintegrasi sosial dan ekonomi untuk pekerja Indonesia setelah
kembali ke daerah asal. Program ini dilakukan dalam bentuk pelayanan permodalan
bagi mantan pekerja
Indonesia, pemberian pendidikan
dan pendampingan kewirausahaan dan pengelolaan hasil kerja, pendidikan dan
pendampingan bagi organisasi pekerja
Indonesia, termasuk organisasi koperasi bagi pekerja Indonesia dan keluarganya, serta program peningkatan
kesejahteraan bagi pekerja
Indonesia.
f.
Pendanaan
dan Jaminan Sosial bagi Pekerja Indonesia
Mengingat tidak sedikit Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau
Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang tidak mampu membayar semua biaya untuk
mengurus dokumen-dokumen identitas dan keperluan pendidikan/pelatihan, maka menjadi
wewenang pemerintah/daerah untuk menjaminnya. Dalam hal ini pemerintah daerah
dapat melakukan berbagai upaya untuk membantu calon pekerja Indonesia dan/atau
pekerja Indonesia, misalnya dalam bentuk bantuan keuangan, pinjaman tanpa bunga
atau dengan bunga sangat ringan atau subsidi, Kredit Usaha Rakyat (KUR), tergantung
kondisi dan kemampuan Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja
Indonesia di Luar Negeri. Pemerintah berwewenang menjamin adanya bantuan
keuangan apabila keperluan Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dalam
persiapan kerja ke luar negeri kurang. Pemerintah berkewajiban menjalankan
wewenang ini, yaitu menjalankan dan mempraktikkan perlindungan yang mendorong
terwujudnya kesejahteraan masyarakat
sebagaimana amanat Konstitusi.
Pemerintah juga wajib memberikan jaminan
sosial sebagai bentuk perlindungan jaminan sosial meliputi kesehatan,
keselamatan kerja, kesehatan reproduksi dan kematian yang berlaku sejak
prapenempatan, penempatan dan pascapenempatan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, memberikan perlindungan terhadap pekerja
Indonesia. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pekerja berhak memperoleh
perlindungan dan jaminan dalam bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti
sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat
dari peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, seperti kecelakaan
kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Secara legal jaminan sosial kepada masyarakat sebagai bentuk
pemenuhan hak asasi warga negara ini, juga tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal
28H ayat 3. Lebih lanjut tuntutan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat, khususnya yang tidak mampu tertuang pada Pasal 34 ayat 2.
Pada dasarnya, tugas Pemerintah dan masyarakat tidak berhenti
sampai pada perlindungan selama pengurusan kerja pekerja Indonesia ke luar negeri saja, namun upaya memberikan
pendidikan dan pemberdayaan serta pekerjaan dan penghidupan yang layak juga wajib menjadi agenda Pemerintah dalam
mencapai kesejateraan mantan pekerja Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Program jaminan
sosial yang diberikan berada dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan Pekerja Indonesia di Luar Negeri
dan tetap diawasi oleh negara.
3. Pekerja Indonesia
Pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri digolongkan atas
kepemilikan dokumen, yaitu pekerja Indonesia berdokumen dan tidak berdokumen. Pekerja
Indonesia yang memiliki dokumen lengkap dan sah serta
direkrut melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan merupakan pekerja Indonesia berdokumen[8], sementara pekerja
Indonesia tidak berdokumen adalah pekerja Indonesia yang
tidak memiliki dokumen lengkap atau dokumen jati dirinya dipalsukan dan atau
yang direkrut dengan tidak melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan[9]. Selain itu juga dapat
dikelompokkan berdasarkan Profesi; a) pekerja Indonesia yang memiliki
keterampilan (skilled) dan b) pekerja
Indonesia tidak memiliki keterampilan (unskilled).
Hak
dan Kewajiban Pekerja Indonesia
Hak
merupakan
tuntutan yang sifatnya asasi yang dimiliki oleh
semua orang. Seseorang dapat menuntut sesuatu yang menjadi kebutuhan pribadinya
sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. Setiap manusia mempunyai hak
untuk berbuat, menyatakan pendapat, memberikan sesuatu kepada orang lain dan
menerima sesuatu dari orang lain atau lembaga tertentu.[10]
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar,
milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah
ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu
atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban
merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus
dilaksanakan)[11].
Dalam
upaya perlindungan pekerja Indonesia, Negara harus memahami apa yang menjadi
hak dan kewajiban pekerja
Indonesia agar tujuan perlindungan dapat terlaksana dengan baik sehingga
tercapai kesejahteraan bagi pekerja
Indonesia dan anggota keluarganya. Dalam Konvensi Internasional Tahun 1990
tentang perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, diyakini
bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai
dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan perlindungan Internasional yang
layak. Konvensi ini dapat dijadikan salah satu referensi karena bersifat
multilateral yang mengikat bagi Negara yang ikut meratifikasi. Konvensi
Internasional 1990 tidak saja memberikan perlindungan terhadap hak buruh migran
itu sendiri, namun juga melindungi seluruh hak anggota keluarga buruh migrant.
Perlindungan hak yang diberikan kepada buruh migran itu seperti tersebut
dibawah ini:
a)
Hak buruh migran sesuai
dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya.
Setiap
buruh migran dan anggota keluarganya memiliki hak-hak yang meliputi,
1)
Hak untuk bekerja di
luar negeri
2)
Hak untuk memasuki dan
tinggal di negara tujuan
3)
Hak atas hidup yang
harus dilindungi oleh hukum
4)
Hak untuk tidak dapat
dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat
5)
Hak untuk tidak
diperbudak
6)
Hak untuk tidak
diwajibkan melakukan kerja paksa atau kerja wajib
7)
Hak atas kebebasan
berfikir, berkeyakinan, dan beragama
8)
Hak untuk berpendapat
9)
Hak atas kebebasan dan
keamanan
10) Hak
atas perlindungan yang efektif oleh Negara terhadap tindak kekerasan, kerugian
fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun
perseorangan, kelompok ataupun lembaga
11) Hak
untuk tidak dapat dijadikan sasaran penangkapan atau penahanan yang
sewenang-wenang; kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh hukum
12) Hak
untuk tidak dihancurkan paspor atau dokumen yang setara milik pekerja Indonesia
13) Hak
untuk tidak boleh menjadi sasaran upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif.
Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan satu persatu
14) Hak
untuk memperoleh upaya bagi perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau
diplomatik dari Pemerintah
15) Hak
untuk diakui dimanapun sebagai pribadi dimuka hukum
16) Hak
untuk tidak mendapatkan perlakuan yang kurang baik di negara tempat Pekerja
Indonesia bekerja dalam hal penggajian
dan:
a)
Kondisi kerja lainnya,
yakni uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan gaji,
keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi apapun yang menurut hukum dan praktek nasional
dicakup dalam istilah ini.
b)
Persyaratan kerja
lainnya, yakni usia minimum untuk bekerja, pembatasan pekerjaan rumah, dan
hal-hal lain yang menurut hukum dan praktek nasional dianggap sebagai
persyaratan kerja;
17) Hak
untuk berserikat dan mengambil bagian dalam pertemuan dan kegiatan serikat
pekerja dan perkumpulan lain
18) Hak
untuk mendapatkan layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi
19) Hak
untuk mentransfer dan menyimpan uang di bank
20) Hak
untuk berlibur
21) Hak
atas kebebasan untuk bergerak di wilayah negara tempat bekerja dan kebebasan
untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut
22) Hak
untuk mendapatkan hak politik, berpartisipasi dalam masalah pemerintahan untuk
memilih dan dipilih pada pemilihan umum,
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
23)
Hal atas persamaan
perlakuan sama dengan warga negara dari negara tempatnya bekerja
24) Hak
atas tempat tinggal atau fasilitas umum dan sosial budaya
25) Hak
untuk memilih pekerjaan
26) Hak
atas peningkatan kapasitas diri baik melalui pendidikan formal maupun informal
27) Hak
memiliki keterampilan
28)
Hak untuk menikah atau
memiliki pasangan hidup sesuai dengan pilihan orientasi seksual.
b)
Kewajiban buruh migran
berdasarkan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan
anggota keluarganya. Selain hak yang melekat pada buruh migran, juga terdapat
kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh buruh migrant antara lain:
1)
Untuk menghormati hak
atau nama baik orang lain;
2)
Melindungi keamanan nasional
atau ketertiban umum negara-negara yang bersangkutan atau ketertiban umum (order
publik) atau kesehatan atau moral umum;
3)
Mencegah propaganda
perang;
4)
Mencegah upaya yang
mendorong kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau keagamaan yang merupakan penghasutan
untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan tindak kekerasan.
c)
Hak dan Kewajiban
Anggota Keluarga
Selain
dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh buruh migran, anggota keluarga buruh
migrant juga memiliki hak yang melekat dengan kewajiban mereka, sama seperti
dengan yang telah disebutkan di atas.
d)
Selain Konvensi PBB
1990 yang memberikan acuan tentang hak dan kewajiban buruh migran, ada beberapa Hak Buruh Migran berdasarkan Konvensi
Internasional (ILO) yang juga mencantumkan
prinsip fundamental dan hak di tempat kerja seperti
yang disebutkan pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel I. Konvensi ILO tentang Prinsip
Fundamental dan Hak di Tempat Kerja
No.
|
Prinsip Fundamental dan Hak di Tempat Kerja
|
Konvensi yang Relevan
|
1
|
Kebebasan untuk
berserikat dan bernegosiasi secara kolektif
|
v Konvensi
ILO No. 87 Tahun 1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi
v Konvensi
ILO No. 98 Tahun 1949
tentang Hak untuk Berorganisasi dan Bernegosiasi Secara Kolektif
|
2
|
Penghapusan segala
bentuk kerja paksa atau kerja yang diwajibkan
|
v Konvensi ILO No. 29 Tahun
1930 tentang Kerja Paksa
v Konvensi ILO No. 105 Tahun
1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa
|
3
|
Penghapusan pekerja
anak
|
v Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973
tentang Usia Minimum
v Konvensi ILO No. 182
Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak
|
4
|
Penghapusan
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
|
v Konvensi
ILO No. 100 Tahun 1951
tentang Upah yang Sama
v Konvensi
ILO No. 111 Tahun 1958
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
|
Empat
(4) area prinsip fundamental dan hak pekerja di tempat kerja yang tertuang
dalam Deklarasi ILO tentang Prinsip Fundamental dan Hak di Tempat Kerja,
berlaku untuk semua pekerja tanpa memandang kebangsaan dan status sebagai
pekerja migran.
Berikut
adalah hak-hak pekerja migran sesuai dengan prinsip fundamental.
Tabel 2. Hak Pekerja Migran Sesuai Prinsip
Fundamental
No.
|
Prinsip Fundamental
|
Hak Pekerja Migran
|
1.
|
Kebebasan untuk
berserikat dan bernegosiasi secara kolektif
|
v Membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja migran
v Terlibat dalam negosiasi kolektif terkait dengan
hal-hal yang mempengaruhi kondisi kerja pekerjaan
v Memilih perwakilan
v Menggunakan sarana/media untuk arbitrasi dan
perdamaian dalam penyelesaian perselisihan
v Mogok
v Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
v Bebas dari penangkapan dan penahanan semena-mena
v Kebebasan untuk berpendapat dan berekspersi dan secara
khusus bebas untuk mempertahankan pendapat tanpa campur tangan
v Hak untuk mencari, menerima dan memberi informasi,
serta gagasan melalui media manapun tanpa pembatasan hak untuk berkumpul
v
Hak untuk diadili secara adil oleh pengadilan yang independen dan tidak
memihak
v
Hak atas perlindungan hak milik serikat pekerja
|
2.
|
Penghapusan segala
bentuk kerja paksa atau kerja yang diwajibkan
|
Bekerja
harus didasarkan atas pilihan dan insentif, bukan didasarkan atas paksaan
atau ancaman. Implikasinya, di antaranya:
v Pekerja
migran tidak boleh dipaksa bekerja di bawah ancaman hukuman
v Pekerja migran secara fisik tidak boleh dikurung
v Pekerja migran dapat mengakhiri atau diakhiri
pekerjaannya sesuai dengan ketentuan hukum nasional
v Pendisiplinan terhadap pekerja migran yang melanggar
aturan di tempat kerja tidak boleh dilakukan dalam bentuk kerja paksa
v Pekerja migran yang terlibat dalam kegiatan mogok yang
sah menurut undang-undang tidak boleh diminta bekerja secara paksa
|
3.
|
Penghapusan pekerja
anak
|
v Anak
dibawah usia 15 tahun tidak diperbolehkan bekerja. Bila terpaksa bekerja, jam
kerja tidak boleh lebih dari jam usai sekolah
v Pekerjaan
berbahaya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun
v Untuk
memonitor usia anak, negara dituntut untuk membuat sistem registrasi
kelahiran
v Hak anak-anak pekerja migran untuk mendapatkan akte
kelahiran
v Hak bagi anak pekerja migran atau pekerja migran anak
untuk bebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak
|
4.
|
Penghapusan
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
|
Larangan
diskriminasi berdasarkan seks, ras, agama, etnis, status perkawinan, dll
|
Menurut standar internasional yang ada dalam Konvensi ILO dan Konvensi
Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dalam seluruh proses migrasi pekerja
migran terdapat hak-hak pekerja migran yang semestinya dipenuhi. Berikut
adalah hak-hak pekerja migran selama proses migrasi.
Tabel 3. Hak Pekerja Migran Selama Proses Migrasi
No.
|
Proses Migrasi
|
Hak Pekerja Migran
|
1.
|
Pra pemberangkatan
dan perjalanan ke negara tujuan
|
|
1.1.
Pemberian informasi
|
v Mendapatkan informasi tentang kondisi kerja dan
kehidupan di negara tujuan.
v Informasi disediakan dengan cara yang bisa diakses
calon pekerja migran dan diberikan dalam bahasa yang bisa dipahami para
pekerja migran.
v Informasi diberikan secara cuma-cuma
v Ada tindakan tegas terhadap mereka yang memberikan
informasi tidak benar terkait dengan migrasi pekerja migrant
|
|
1.2. Perekrutan
|
v Perekrutan
pekerja migran dilakukan oleh: badan pemerintah, majikan yang prospektif, dan
agen tenaga kerja yang resmi/terakreditasi
v Majikan
dan agensi perekrut tenaga kerja harus mendapat ijin dari lembaga pemerintah
v Monitoring dan
pengawasan ketat terhadap majikan dan agen perekrut untuk mencegah terjadinya
hal-hal berikut:
1.
tingginya biaya perekrutan yang dibebankan kepada pekerja migran
2.
kecurangan dalam pembuatan dan pelaksanaan kontrak
3.
pemberian informasi yang
tidak benar
4.
pelanggaran atas
ketentuan imigrasi atau penempatan pekerja migran tanpa dokumen
v Pemberian
ijin pada agen diberikan hanya untuk sektor kerja tertentu
v Pekerja migran tidak dikenakan biaya perekrutan. Kalaupun
ada biaya yang dibebankan pada pekerja migran, jumlahnya harus sangat
terbatas
v Majikan dan agen dilarang melakukan pemotongan gaji
pekerja migran.
|
|
1.3. Penandata-nganan
kontrak
|
v Sebelum berangkat ke negara tujuan, pekerja migran
berhak untuk mendapatkan perjanjian kerja tertulis yang berisi tentang
pekerjaan, ruang lingkup pekerjaan, kondisi kerja, besarnya upah/gaji dan
jangka waktu berlangsungnya kontrak.
v Perjanjian kerja dan dokumen lainnya ditulis dalam
bahasa yang dimengerti pekerja migran. Bila yang bersangkutan berpendidikan
rendah, maka isi kontrak harus dijelaskan pada yang bersangkutan
v Perjanjian
kerja dan ijin kerja tidak boleh melanggar hak pekerja migran yang dijamin
dalam konvensi. Misalnya, tidak boleh ada ketentuan yang melarang pekerja
migran untuk masuk dalam serikat pekerja, untuk tidak menikah, untuk hamil
atau mewajibkan pekerja migran untuk tes kehamilan secara berkala
|
|
1.4. Tes dan
pelayanan kesehatan
|
v Pekerja migran berhak atas tes dan pelayanan
kesehatan sebelum berangkat, selama dalam perjalanan dan ketika sampai di
negara tujuan
v Pekerja migran tidak dipaksa/diwajibkan untuk
menjalani tes kesehatan yang tidak terjaga kerahasiaannya, seperti test
kehamilan, tes HIV/AID, dll.
v Pekerja migran tidak dihilangkan haknya untuk
bekerja ketika positif hamil atau mengidap HIV/AID
|
|
1.5. Pemberangkatan
|
v Pekerja migran – khususnya yang baru pertama kali
ke luar negeri – berhak untuk mendapatkan pelayanan/bantuan dalam menghadapi
proses terkait dengan proses perjalanan dan imigrasi.
v Pelayanan
diberikan secara cuma-cuma
v Pekerja
migran tidak membiayai sendiri pengeluaran yang dibutuhkan untuk perjalanan
ke negara tujuan. Perekrut dan majikan wajib menanggung pengeluaran ini
v Bila
pekerja migran tidak memiliki kontrak dengan majikan atau berangkat dengan
inisiatif sendiri, biaya perjalanan dibuat seminimum mungkin
|
|
2.
|
Tiba di negara tujuan
|
v Hak
untuk mendapatkan program orientasi yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan
kondisi di negara tujuan
v Hak
untuk terbebas dari kewajiban adat setempat
v Hak
untuk mendapatkan pelayanan secara cuma-cuma dalam menemukan pekerjaan yang
sesuai
v Hak
untuk mendapatkan informasi dan pelayanan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan
dengan lingkungan baru
v Hak
untuk bebas dari diskriminasi dalam mendapatkan akomodasi
|
3.
|
Selama bekerja
|
v Hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan pekerja lokal terkait dengan kondisi
kerja, termasuk gaji, keanggotaan dalam serikat buruh, akomodasi, jaminan
sosial (dalam batas tertentu), pajak dan perlakuan di tempat kerja
v Upah:
1) upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Besaran upah ditentukan secara
obyektif berdasarkan karakter pekerjaan (terkait dengan dengan keterampilan,
pengetahuan, kondisi kerja dan tanggung jawab) dan tidak didasarkan pada
jenis kelamin dan kebangsaan, 2) upah tidak di bawah standar, 3) upah dibayar
langsung, 4) upah dikelola oleh pekerja
v Perlakuan
yang sama dengan pekerja dalam hal
kondisi kerja, seperti: jam kerja, waktu istirahat, waktu lembur, hari
libur, kesempatan belajar/ training, perlindungan dari bahan berbahaya, alat
berbahaya, polusi getaran dan suara, perlindungan dari kekerasan fisik dan seksual,
jaminan sosial, dan pelayanan lainnya
v Hak atas kesehatan dan keselamatan kerja
v Hak atas peluang kerja dan untuk bertukar pekerjaan
v Hak
untuk bebas bergerap
v Hak
untuk mengakses keadilan
|
4.
|
Pemulangan dan
reintegrasi
|
v Hak
untuk tidak dideportasi dan di-PHK tanpa alasan sah
v Hak
untuk mendapatkan bantuan hukum bila di-PHK sewenang-wenang
v Pekerja
migran yang gagal bukan atas kesalahannya mereka tidak harus membayar sendiri
biaya pemulangan ke negara asal
v Hak
untuk mendapatkan pembayaran upah, pengembalian upah yang dipotong,
kompensasi hari libur yang tidak diambil, pembayaran kembali atas kontribusi
untuk jaminan sosial
v Akses
atas keadilan dan bantuan hukum bila ada hak yang dilanggar
v Hak
untuk mendapatkan keamanan dan bebas dari pemerasan
v Hak untuk mendapatkan perlindungan terkait dengan hasil
kerja dan kehidupan sosial
|
4.
Kelembagaan
yang bertanggung jawab
Dalam teori kelembagaan, Max Weber
merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah
dalam wilayah tertentu. Negara dipandang sebagai suatu sumber utama hak untuk
menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber
merupakan persaingan untuk membagi kekuasan atau persaingan untuk mempengaruhi
pembagian kekuasaan antarnegara maupun antarkelompok di dalam suatu negara.
Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang
kongkret, dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik
yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.[12]
Negara sebagai suatu
organisasi, yang memiliki kewenangan yang dapat mengikat secara tegas kepada
warga negaranya dengan tujuan untuk memberikan perlindungan. Dalam upaya
perlindungan kepada pekerja
Indonesia melalui upaya pelaksanaan
pengelolaan pekerja
Indonesia, negara memerintahkan kepada lembaga negara yang ditunjuk untuk
berperan sebagai pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, pengawasan, dan
pengelolaan pendanaan dan jaminan sosial bagi pekerja Indonesia. Tiap-tiap lembaga
negara tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang tegas dan tidak boleh saling
tumpang tindih, agar perlindungan bagi pekerja
Indonesia dapat terlaksana dengan baik,
jika semua tugas dan kewenangan badan tersebut berjalan sesuai dengan aturan
yang ada. Lembaga negara yang terlibat dalam pemberian perlindungan bagi pekerja Indonesia seperti yang dijelaskan seperti di bawah
ini:
a.
Pembuat
kebijakan
Pembuat kebijakan merupakan suatu organisasi, badan atau lembaga yang
ditunjuk dan memiliki kewenangan untuk mengatur sekelompok orang atau masyarakat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga atau badan ini merupakan kebijakan yang
bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat guna melindungi masyarakat. Pembuat
kebijakan dapat menuntut masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya yaitu
mematuhi seluruh aturan yang sudah ditetapkan sebelum masyarakat menuntut
haknya. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, wajib menjamin dan melindungi hak
asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri
berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan, anti
diskriminasi, dan anti perdagangan manusia seperti terdapat dalam UUD NRI 1945.
Kebijakan atau peraturan yang mengatur mengenai perlindungan bagi tenaga
kerja dulu hanyalah UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang melindungi tenaga kerja di dalam negeri saja.
Sedangkan bagi tenaga kerja yang bekerja di luar negeri masih belum dilindungi.
Oleh karena itu, negara mengeluarkan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kewenangan untuk
melindungi baik tenaga kerja di dalam negeri maupun tenaga kerja di luar negeri
berada pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam UU Nomor 39 Tahun
2004, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans) memiliki beberapa kewenangan dan tanggung jawab
dalam memberikan perlindungan bagi TKI, antara lain
(1)
Memberi izin PPTKIS
untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri (Pasal 1 angka
5)
(2)
Memberikan Surat
Izin Pengerahan (SIP) kepada PPTKIS untuk merekrut calon TKI (Pasal 1 angka 14)
(3)
Mengatur, membina,
melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri (Pasal 5 ayat 1)
(4)
Melimpahkan
sebagian wewenang dan tugas pembantuan kepada pemerintah daerah (Pasal 2 ayat
2)
(5)
Bertanggungjawab
untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri (Pasal 6)
(6)
Menjamin
terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui
pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;(Pasal 7 huruf
a)
(7)
Mengawasi
pelaksanaan penempatan calon TKI; (Pasal 7 huruf b)
b.
Pelaksana
penempatan
Pelaksana merupakan badan atau lembaga yang ditunjuk
atau mendapat ijin dari undang-undang untuk melakukan atau menyelenggarakan
kegiatan tertentu. Pelaksana bertugas melaksanakan jalannya suatu kegiatan. Jika terjadi pelanggaran atas pelaksanaan
kegiatan, maka pelaksana dapat memberikan sanksi, berupa sanksi administrasi, denda
maupun sanksi lainya. UU Nomor 39 Tahun 2004 dalam Pasal 10 menunjuk pelaksana penempatan TKI Swasta sebagai badan/lembaga yang
menyelenggarakan penempatan TKI ke luar negeri.
Banyaknya kasus yang terjadi pada pekerja Indonesia di luar negeri
dan semakin banyaknya keinginan
masyarakat untuk bekerja di luar negeri, maka kelembagaan yang ditunjuk sebagai
pelaksana penempatan TKI ada saat itu yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (Ditjen PPTKLN) Kemenakertrans RI, dianggap
kurang memadai untuk mengelola urusan TKI. Untuk itu diamanatkan dalam UU Nomor
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri agar di bentuk BNP2TKI dengan Perpres.
Dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2006 tentang BNP2TKI,
menghapuskan Ditjen PPTKLN Kemenakertrans RI. Menurut UU Nomor 39 Tahun 2004
dan Perpres Nomor 81 Tahun 2006 jelas disebutkan bahwa BNP2TKI adalah merupakan
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) (Pasal 94 ayat 3) yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden serta memiliki unit pelaksana di
daerah bernama BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI). Dalam
Pasal 94 UU Nomor 39 Tahun 2004, dinyatakan BNP2TKI dibentuk untuk menjamin
dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar
negeri guna melakukan pelayanan dan tanggung jawab terpadu.
BNP2TKI
memiliki fungsi pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI
di luar negeri, berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk memberikan perlindungan
kepada TKI yaitu lembaga pembuat kebijakan penempatan dan perlindungan
TKI. Pada
Pasal 95 ayat (2) butir a, BNP2TKI bertindak sebagai pelaksana penempatan TKI
ke luar negeri untuk penempatan G to G.
Pelaksanaan
Penempatan TKI secara P to P di dilakukan oleh Pelaksana Penempatan TKI swasta
(PPTKIS) yang sudah mendapatkan ijin tertulis dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.
Tanggung jawab PPTKIS dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI dimulai
dari tahap prapenempatan, penempatan dan purna penempatan. Perlindungan yang
harus diberikan oleh PPTKIS kepada TKI sejauh apa yang sudah diperjanjikan
dalam perjanjian penempatan (Pasal 82), menyelesaikan sengketa dengan TKI
secara damai dengan cara musyawarah dan meminta bantuan instansi ketenagakerjaan di kabupaten/kota, provinsi atau Pemerintah jika terjadi sengketa tanpa adanya
kesepakatan
(Pasal 85 ayat 2).
c.
Pengawas
Pengawas merupakan suatu lembaga
atau badan yang bertugas untuk mengawasi jalannya, sejak dimulai sampai
berakhirnya suatu kegiatan dengan memberikan laporan kepada lembaga yang
ditunjuk oleh undang-undang. Penunjukan suatu badan atau lembaga pengawas dalam
upaya perlindungan bagi TKI terdapat di dalam Pasal 92 ayat 1 UU No.39 Tahun
2004, yang menyatakan: pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri diamanatkan kepada Pemerintah Daerah dalam hal
ini Pemerintah Daerah Provinsi terkait. Hasil pengawasan terhadap pelaksanaan
penempatan dan perlindungan TKI yang berada di wilayah atau daerahnya
dilaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sesuai dengan tugas,
fungsi dan kewenangannya (Pasal 93 ayat 1).
Selama menjalankan tugas, fungsi
dan kewenangannya, Pemerintah Daerah Provinsi juga dapat melakukan penyidikan
tindak pidana terhadap pelanggaran atas kebenaran laporan tentang tindak pidana
di bidang penempatan dan perlindungan TKI (Pasal 101 ayat 2 butir a), terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang penempatan dan perlindungan
TKI.
Kewenangan yang ada pada Pemerintah
Daerah Provinsi, hanya sebatas pada lingkup pengawasan di dalam negeri.
Sementara pengawasan di luar negeri diberikan kepada Atase Ketenagakerjaan
dan/atau Perwakilan RI di negara
penerima, melakukan pengawasan terhadap kinerja Mitra Usaha/Mitra Kerja PPTKIS dan
pengguna TKI di negara penerima. Dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk
menjadi koordinator hubungan luar negeri. Salah satu mandat yang diberikan oleh
undang-undang adalah untuk memberikan perlindungan kepada setiap WNI yang
berada di luar negeri. Jadi, seluruh atase yang berada di luar negeri, baik
atase perdagangan, ketenagakerjaan, maupun kebudayaan semua berada di bawah
koordinasi Perwakilan RI.
d.
Penyelenggara
Program Jaminan
Sosial Pekerja Indonesia
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan suatu
badan yang dibentuk berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
sah dan diakui keberadaannya untuk menjalankan suatu kegiatan pengumpulan dana
dari sekelompok masyarakat yang menjamin terciptanya kesejahteraan bagi
masyarakat. Badan yang bertanggung jawab sebagai pengelola pendanaan dan
jaminan sosial bagi pekerja Indonesia akan diserahkan setelah ditemukan
kejelasan dan kesepakatan bersama mengenai bentuk, jenis, dan pelaksanaannya. Badan
Penyelenggara Jamianan Sosial (BPJS) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 24
Tahun 2011 sebagai manifestasi lebih lanjut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional memiliki mekanisme tersendiri yang telah diatur
sedemikian rupa untuk melindungi jaminan sosial pekerja Indonesia di luar negeri. Hal terpenting
yang harus menjadi perhatian adalah bahwa badan pengelola pendanaan dan jaminan
sosial dapat memberikan kesejahteraan bagi pekerja
Indonesia beserta keluarganya, dimana mekanisme pelaksanaannya berada di bawah
pengawasan Pemerintah.
e.
Mekanisme
Pengaduan, Pelaporan, dan Gugatan
Pengaduan merupakan suatu bentuk
penyampaian baik tertulis maupun secara lisan yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat atas ketidaksenangan atau kegiatan yang melanggar norma dan aturan
yang memberikan jaminan dalam hidup bermasyarakat. Dalam hubungan pekerja Indonesia dengan
sistem perlindungan terhadap pekerja
Indonesia di luar negeri,
materi muatan pengaduan adalah peraturan atau hukum yang tidak dijalankan oleh
pihak yang berwenang dan pelanggaran oleh siapapun terhadap pasal-pasal yang
menjamin perlindungan para pekerja
Indonesia.
Yang berhak mengajukan pengaduan atau
laporan adalah:
1.
Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau
Pekerja Indonesia di Luar Negeri atau keluarganya serta masyarakat pada umumnya
dapat memberikan pengaduan/pelaporan atas kasus yang dialami melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga
kemasyarakatan sebagai lembaga yang terdekat. Kemudian lembaga bantuan hukum
atau lembaga kemasyarakatan dapat merujuk dan bekerjasama dengan Disnakertrans
setempat untuk menindaklanjuti kasus serta mengoordinasikan dengan instansi
lain yang terkait (Polisi, PPPILN, sponsor, dll.)
2.
Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau
Pekerja Indonesia di Luar Negeri atau keluarganya serta masyarakat dapat memberikan
pengaduan/pelaporan atas kasus yang dialami melalui lembaga bantuan hukum atau
lembaga kemasyarakatan yang ada yang dapat menangani kasus hubungan tenaga
kerja.
Tata cara penyampaian gugatan atau laporan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3] http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf
yang didownload
pada tanggal 7 Februari 2011
[4] Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri, RDP antara Pakar dengan Panja Pekerja Indonesia Komisi IX tanggal 16 Desember 2010, hal 8-9.
[7] Artikel ILO,
“Memerangi Kerja Paksa dan Perdagangan Pekerja Migran Indonesia”, didownload tanggal
2 september 2010.
[12] http://abjaykutai.blogspot.com/2009/10/tugas-pembangunan-kelembagaan.html,
di download tanggal 8 Februari 2011
1 komentar:
Sy tidak tau apa ini cara kebetulan saja atau gimana. Yg jelas sy berani sumpah kalau ada ke bohongan sy sama sekali. Kebetulan saja buka internet dpt nomer ini +6282354640471 Awalnya memang sy takut hubungi nomer trsebut. Setelah baca-baca artikel nya. ada nama Mbah Suro katanya sih.. bisa bantu orang mengatasi semua masalah nya. baik jalan Pesugihan dana hibah maupun melalui anka nomer togel. Setelah sy telpon melalui whatsApp untuk dengar arahan nya. bukan jg larangan agama atau jalan sesat. Tergantung dari keyakinan dan kepercayaan saja. Syukur Alhamdulillah melalui bantuan beliau benar2 sudah terbukti sekarang. Amin
Posting Komentar