Selasa, 12 April 2011

Problematika Pendidikan Nasional


Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks. Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif.
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi:
  1. Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitif, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
  2. Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu Kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
  3. Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
  4. Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
  5. Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/tahun.
  6. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
  7. Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
  8. Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
  9. Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang
telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
  • Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
  • Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
  • Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
  • Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
  • Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
  • Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
  • Cendekiawan yang hipokrit,
  • Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
  • Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
  • Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.
Pendidikan pada Era reformasi
  • Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
  • Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yang tidak kompetitif hari ini adalah juga produk dari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
  • Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada textbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
  • Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
  • Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
  • Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
  • Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikembangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relevan.
Penyimpangan Pengelola Praktisi Pendidikan
Fenomena hadirnya lembaga bimbingan tes di tengah-tengah sekolah bisa dipandang dari dua sisi. Satu sisi, kehadiran lembaga bimbingan tes di sekolah dapat membantu sekolah dalam mengkondisikan dan mempersiapkan siswa kelas tiga menghadapi UN. Tentu banyak sekolah yang tidak mau mengulangi pengalaman buruk tahun-tahun sebelumnya, di mana ada banyak siswa yang tidak lulus UN. Adanya pendampingan dari lembaga bimbingan tes ini akan dapat memberikan kepercayaan diri yang lebih besar bagi para siswa. Dan akhirnya, lewat bimbingan tes ini diharapkan semua siswa lulus dan tidak ada lagi siswa yang tercecer atau gagal dalam UN.
Disadari atau tidak, penyimpangan dalam suatu tempat praktisi pendidikan seperti tempat bimbingan belajar, pasti ada. Contohnya tidak konsistennya pemilik praktisi pendidikan untuk mendatangkan tenaga pengajar yang ahli dalam membina anak didik yang sedang menghadapi UN. Hal lain membawa dampak buruk bagi anak didik yang diajarnya.

Sumber            :
http://sigitirawan.blog.ugm.ac.id/2009/06/03/guru-dan-problem-pendidikan

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger